(^_^)


morat

Diposting oleh Rendra & Urakom

Kurang ombo prut ngakakmu...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Eprut...maneh

Diposting oleh Rendra & Urakom

Prut prut...eprut maneh

Diposting oleh Rendra & Urakom

Lagi MMD 

Diposting oleh Rendra & Urakom

Semester brapa ya waktu itu?....

Diposting oleh Rendra & Urakom

Tinggalkan Kenangan Manismu sangat mengharukan mereka...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Kini Tinggal Kenangan Manismu bersama temen-temenmu

Diposting oleh Rendra & Urakom

Betapa bahagianya mereka...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Mot...remot...mot...cimot

Diposting oleh Rendra & Urakom

Damayanti...Domas....Dianita

Diposting oleh Rendra & Urakom

Prit...liat sini dong...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Nanik Muth...Domas Prit...Eva Epr...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Serius banget...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Hei Dian ko` ada diblakangan kotak, ngapain tuh...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Lagi serius...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Lirikan matamu...(lanjutkan sendiri nyanyinya...)

Diposting oleh Rendra & Urakom

Ngapain prut? serius nyimak kah?...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Ketika Eprut masihlah bunder...hehehe

Diposting oleh Rendra & Urakom

Aku lupa namanya yg merah ini syapa "anak-anak manggilnya Babon" yahhh macam ayam wae...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Ko` pada sarungan mau ngapain? bal balan sarungan...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Ratna sama Anik

Diposting oleh Rendra & Urakom

Diantara anak-anak ini syapa yang lulus belakangan? hayoo ngaku...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Ini namanya Eka apa Ika ya...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Syapa ya namanya...dah lupa semua nih...

Diposting oleh Rendra & Urakom
Senin, 28 Juli 2008 di 12.20 | 0 komentar  

Hehehe...malu ahh...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Dini hari jam 03.00 WIB ketika lagi ngerjakan KTI Akbid 2006

Diposting oleh Rendra & Urakom

Master of Kotak...

Diposting oleh Rendra & Urakom

Ngapain Dian??? ko` senyum sendiri, ada apa hayooo?

Diposting oleh Rendra & Urakom

Ya ampun rakusnya...kamu prutttt ckckck....

Diposting oleh Rendra & Urakom

Anak-Anak Akbid Sutomo Surabaya Th 2003/2004

Diposting oleh Rendra & Urakom

Anak-Anak Akbid Sutomo Surabaya Th 2003/2004

Diposting oleh Rendra & Urakom

Anak-Anak Akbid Sutomo Surabaya Th 2004

Diposting oleh Rendra & Urakom

Dikira Sales Obat

Sohib kita ini adalah seorang pengajar SD swasta bonafit cabang Jakarta yang singgah di Solobaru, siapa lagi kalau bukan Jon Koplo.

Penampilannya selalu setil dengan kemeja panjang berdasi, tas kulit besar tertenteng di tangan kanan serta HP canggih yang selalu diewer-ewer ke mana-mana.
Kebetulan waktu itu sekolahnya akan mengadakan field trip di Taman Satwa Taru Jurug, untuk memperkenalkan siswa dengan macam-macam satwa. Tentu saja kegiatan ini disambut baik oleh anak didiknya. Dengan semangat 45-nya, Jon Koplo yang didhapuk jadi ketua panitia mulai membuat jadwal survei lokasi dan skenario kegiatan.
Pada hari Senin pascamengajar siswanya, Jon Koplo age-age berangkat untuk survei ke Taman Jurug. Dengan motor kesayangannya, Koplo ngacir ke pojok wetan Solo untuk survei lokasi plus negosiasi harga tiket masuk.
Sesampainya di TSTJ, Koplo langsung parkir dan tak lupa menyisir rambutnya yang sudah mulai Bakmi alias botak banyak mikir, kemudian menemui petugas penjagaan bernama Tom Gembus.
”Permisi, Pak. Bisa bertemu dengan pimpinan,” lapor Jon Koplo ramah. Namun tanpa diduga dan dinyana ia mendapat jawaban yang nganyelke.
”Maaf, Mas. Di sini tidak menerima sales obat. Kami sudah punya dokter sendiri,” jawab Tom Gembus semi sinis.
Mak pleng bagai dikampleng palu Dasamuka, Jon Koplo langsung semrepet ngampet nesu.
”Maaf ya Mas, jelek-jelek begini saya ini dosen. Saya ke sini mau survei lokasi, bukan jualan obat! Tolong jaga imej saya dong! Sampean sudah berapa tahun jaga di sini, kok tidak bisa membedakan antara sales dengan dosen?” ujar Koplo kemropok.
”Oh, maaf beribu maaf, Pak. Saya kira Bapak tadi sales obat, wong bawa tas dan pakai dasi kayak sales yang biasa datang ke sini... Lha mangga, kula dherekaken manggihi Bapak Pimpinan...”

Parkir Gratis

Jon Koplo, seorang pelajar SMA Solo yang tinggal di Sukoharjo ini orangnya suka nyepelekke dan nduablege ora umum. Hal itulah yang menyulut kejadian menggelikan berikut ini.

Kisah berawal dari dibangunnya sebuah rumah di depan rumah Jon Koplo beberapa bulan yang lalu. Meski rumahnya sudah jadi, sang pemilik, sebut saja Tom Gembus, belum juga menempati rumah tersebut. Maklum, pekerjaan Pak Gembus di luar kota memang sibuk. Alhasil, rumah itu masih kosong melompong tak ada yang menempati.
Melihat pekarangan Pak Gembus yang nganggur, Jon Koplo pun mulai bertingkah. Setiap hari sepulang sekolah Koplo selalu memarkir motornya di pekarangan rumah milik Tom Gembus. Bahkan saat teman-temannya datang, Jon Koplo juga menyuruh memarkirkan motor-motor mereka di pekarangan rumah Pak Gembus itu.
Nah, suatu hari sepulang sekolah, seperti biasa Koplo langsung nyelonong ke pekarangan rumah Pak Gembus dan memarkirkan motornya dengan gaya yang cuek bebek. Namun saat Koplo hendak melangkah ke rumahnya, mak bedunduk, pintu rumah Pak Gembus terbuka. Pak Gembus pun keluar dari dalam rumahnya. ”Eh, Mas Koplo ta, saya kira ada tamu siapa. Mau nitip motor nih?” tanya Pak Tom Gembus sambil tersenyum.
Rupanya Jon Koplo tidak menyangka babar blas kalau Pak Gembus ada di rumah. Koplo pun cuma bisa plenthas-plenthus kisinan dan kebingungan untuk menjawab.
”Eh, Pak Tom Gembus... Kapan datang Pak? Anu... tadi saya kebablasen!” jawab Koplo cengar-cengir seraya segera menuntun motornya ke rumahnya.
Pak Tom Gembus cuma bisa geleng-geleng melihat sikap Jon Koplo yang aneh itu. Sementara itu para tetangga yang melihat kejadian itu tak kuasa menahan tawa.

Mesjid Banjir Duit

Jon Koplo, warga Sukoharjo ini tidak menyia-nyiakan Bulan Ramadan untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya. Terbukti salat tarawihnya tidak pernah bolong meski ia sedang sibuk sekalipun, termasuk pertengahan bulan lalu.

Setelah berbuka puasa dan Salat Magrib, Jon Koplo dan Tom Gembus, anaknya yang baru berusia lima tahun menyempatkan diri ke minimarket untuk membeli Sembako buat persediaan logistik selama bulan puasa. Dibelinya gula, teh, kopi, mi instan dan tetek bengek lainnya.
Ngirit wektu, setelah rampung mborong di minimarket, Koplo tidak pulang dulu melainkan langsung njujug ke mesjid karena azan Isya telah berkumandang. Diparkirnya motor di depan mesjid dan Sembako yang dibelinya pun dititipkan di kantor takmir mesjid karena kebetulan Jon Koplo kenal dengan pengurus mesjid di situ. Saking kesusu-nya ia langsung mengambil air wudu dan mengerjakan Salat Isya.
Nah, di sinilah awal ”bencana” bagi Jon Koplo. Ketika Salat Isya masuk rakaat kedua, saku baju Koplo yang kelebihan muatan sudah ada gejala-gejala tidak beres. Uang receh campur baur dengan uang kertas susuk dari minimarket tadi bergerak-gerak seiring gerakan salat Jon Koplo sehingga membuat ia tidak khusyuk.
Ketika sujud, uang receh dan kertas tadi bertebaran keluar dari saku baju. Ndilalah-nya, posisi salat Jon Koplo tepat di bawah kipas angin yang berputar sangat kencang karena hawa di mesjid saat itu memang sumuk sekali. Tak pelak lagi, uang kertasnya bertebaran ke sana kemari.
Dengan posisi uang Jon Koplo yang morak-marik itu, Tom Gembus nyeletuk, ”Wah dhuwite bapak dha njiglok len, okeh banget! Mesjide banjir dhuwit,” katanya sambil berlarian mengejar dan memungut uang kertas yang bertebaran itu sehingga mengganggu konsentrasi salat jamaah di mesjid itu.Dasar bocah...

Rokok Gengsi

Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Sebagai anak seorang perokok, pemuda Desa Keyongan Boyolali yang bernama Jon Koplo ini juga seorang perokok yang tak kalah berat dibanding bapaknya.

Cuma bedanya, sang bapak suka rokok Tingwe (nglinting dhewe) yang dibeli dari pasar Gawok sedangkan Koplo rokok kelas mahal berlabel internasional.
Pada waktu itu Jon Koplo mendapat undangan tetangganya yang punya gawe akikahan. Bakda Isya, Koplo sudah dandan nyetil siap berangkat njagong. Tak lupa ia memasukkan bungkus rokok warna merah putih yang berada di atas meja ke dalam sakunya.
Sampai tujuan, Koplo segera bergabung dengan teman-teman lainnya yang sedang ngobrol ngalor ngidul. Di antara mereka banyak yang sudah kemebul mengisap rokok.
”Rokok Plo...?” tawar seorang teman kepada Jon Koplo sambil menyodorkan sebungkus rokok merk ecek-ecek.
”Terima kasih, saya sudah bawa kok. Sori ya, saya kalau ngrokok sembarangan bisa batuk,” jawab Koplo kemlinthi.
Tak mau kalah, Koplo pun memperlihatkan gengsinya dengan mengeluarkan bungkus rokok merk terkenal dari dalam sakunya.
”Minta satu ya, Plo. Aku ingin merasakan rokok mahal dan terkenal,” kata Tom Gembus, teman Koplo yang duduk di belakangnya.
”Nih, ambil saja!” kata Koplo sambil menyerahkan bungkus rokok plus koreknya. Gembus segera menerima dan membukanya.
”Lho rokok apa ini Plo?” tanya Gembus kaget.
”Itu rokok Malioboro Mbus. Asli dari Singgapur,” jawab Koplo nggedebus.
”Asli Singgapur apa Singgawok?” ejek Gembus sambil ngguyu ngakak.
”Kalau nggak mau ya sudah, jangan meng...” Koplo tidak melanjutkan kalimatnya karena ketika ia melihat rokok yang berada di dalam bungkus rokoknya adalah batangan-batangan rokok Tingwe seperti milik bapaknya!
”Selera rokokmu sudah ganti ya, Plo?” ejek teman lainnya.
”Lho, rokokku kok jadi kayak gini?” Koplo kebingungan bin kisinan.
Usut punya usut, ternyata Koplo salah ambil bungkus rokok. Itu adalah rokok milik bapaknya. Bapaknya memang biasa menggunakan bekas bungkus rokok Koplo untuk menyimpan persediaan rokok Tingwe bikinannya. Alhasil, malam itu gengsi Koplo pun jadi ndlosor sak pole di depan Gembus dan kawan-kawan.

Jawaban Nyleneh

Hari itu di ruang kelas tiga sebuah SD di Wonogiri sedang ada ulangan Bahasa Daerah. Seperti biasanya, setelah ulangan selesai, kertas-kertas jawaban dikumpulkan di meja guru.

Kemudian Bu Guru Lady Cempluk membagikan kertas itu lagi sambil diacak supaya tidak ada yang memeriksa kertas ulangan milik sendiri.
Gendhuk Nicole yang duduk di bangku belakang kebagian mengoreksi kertas ulangan milik Jon Koplo, teman sekelasnya yang terkenal nduableg, suka mbolos dan agak o’on. Satu persatu soal dikoreksi bersama-sama Bu Cempluk di depan kelas. Kalau ada yang salah, murid-murid sendiri yang harus mencoret kertas ulangan temannya.
”Sekarang soal nomor tujuh ya... Apa jarwa dhosoke gedhang?” tanya Bu Cempluk.
”Digeget bubar madhaaang!” jawab anak-anak serempak. Bu Cempluk manggut-manggut sambil tersenyum. Pikirnya, wah murid-muridku sudah makin pinter nih. Tapi buat Gendhuk Nicole, jawaban Jon Koplo bikin dia mumet. Ia pun akhirnya mengacungkan tangannya.
”Ada apa, Nicole? Ada yang salah?” tanya Bu Cempluk.
”Jawaban Koplo beda, Bu.”
”Lha jawabane apa, Ndhuk?” Bu Cempluk bertanya sambil melirik Jon Koplo yang mulai memerah wajahnya karena takut.
”Gedhang, yen digeget matane padhang!”
Hua-ha-ha-ha.... Seketika Bu Cempluk bersama murid-murid sak kelas tertawa ngakak berkepanjangan. Bahkan saking gelinya Bu Cempluk sampai mbrebes mili dan harus memegangi perutnya yang sakit mendadak.
”Pripun, Bu? Niki bener napa salah?” Gendhuk Nicole bertanya sekali lagi.
Setelah beberapa saat, Bu Cempluk tidak juga membenarkan atau menyalahkan jawaban Koplo yang nyleneh itu, tapi beliau malah menghampiri muridnya itu dan ngelus-elus gundhul-nya. ”Oalah, Plo... Plo! Mula yen Bu Guru mulang ki digatekke ya cah bagus...” katanya dengan lemah lembut. Sementara Jon Koplo cuma bisa pringas-pringis menahan malu

The Pipis...

Kisah nyata ini dilakoni oleh Jon Koplo ketika bersama Gendhuk Nicole, adiknya, hendak ke Semarang untuk menjenguk tantenya yang lagi opname di Rumah Sakit Kariadi.

Warga dusun Kanoman, Ngemplak, Boyolali ini berangkat naik bus dari terminal Kartasura pukul 19.00 WIB. Pada saat bus sampai Boyolali, ndilalah Koplo terkena HIV (hasrat ingin vivis). Maklum, entah salah makan atau minum, sohib kita ini terserang penyakit anyang-anyangen.
”Tolong Pak Kondektur, berhenti sebentar busnya. Saya kebelet pipis!” pintanya pada kondektur, Tom Gembus.
”Wah, nggak bisa, Pak. Ini kita juga buru-buru agar nggak kemalaman nanti,” tolak Tom Gembus.
”Lha kalau saya ngompol di dalam bus gimana?”
”Ya jangan dong, nanti mesing-mesingi!”
”Makanya, tolong suruh Pak Sopir berhenti sebentar. Please deh...” pinta Koplo memelas.
”Nggak bisa dong! Sopirnya sedang emosi, saya nanti malah didamprat,” jawab Gembus tegas.
”Ya sudah, kalau gitu saya mau ngompol saja,” jawab Koplo sambil pringas-pringis ngampet pipis.
Pusing juga Tom Gembus menghadapi ulah Jon Koplo. Akhirnya dia kasih solusi.
”Gini aja Mas, kamu ndhepipis di belakang saja. Nanti lewat lubang pintu belakang pipismu diarahkan ke luar, biar tidak pesing,” saran Gembus.
”Oke, nggak masalah,” jawab Koplo.
Akhirnya atas izin Tom Gembus, Jon Koplo ngathur lewat pintu belakang bus. Kebetulan keadaan bus waktu itu gelap.
Namun walau tumpah di jalan, ternyata aroma pesingnya tetap menyeruak ke dalam bus.
Ndilalah salah seorang penumpang di belakang, sebut saja Mbokdhe Cempluk, ngonangi Koplo sedang in action. ”Walah Mas... Mas, pipis kok ya di dalam bus. Marai pesing wae,” teriaknya keras.
Sontak semua penumpang menengok ke belakang sambil muring-muring mengecam tindakan Jon Koplo.

Kekancingan

Sebagai sepasang kekasih yang baru satu bulan jadian, maklumlah kalau Jon Koplo dan Lady Cempluk masih runtang-runtung lengket kayak prangko sama amplopnya.

Suatu hari di bulan Juni 2008 lalu, pemuda asal Selogiri dan pemudi asal Wonokerto ini berencana makan malam di karamba kawasan Waduk Gajah Mungkur (WGM) Wonogiri. Berboncengan sepeda motor, pukul 17.00 WIB mereka tiba di sana. Namun sebelum sampai di rumah makan, Koplo melihat pintu gerbang obyek wisata WGM masih terbuka meskipun tanpa penjaga.
”Pluk, mampir ke wisata dulu yuk! Mumpung gratis,” ajak Koplo.
Mereka berdua pun masuk ke obyek wisata. Sambil duduk di tepi waduk, mereka berdua ngobrol ngalor, ngidul, ngetan, bali ngulon.
Setelah kira-kira setengah jam bermesraan, mereka berdua beranjak dari tempat duduknya untuk menuju ke rumah makan. Namun ketika sampai di pintu gerbang mereka terperanjat karena pintu gerbang sudah tertutup rapat.
”Gimana Mas, pintu gerbangnya sudah digembok. Mosok kita mau semalaman di sini?” Cempluk mulai cemas dan kebingungan.
”Aku ya bingung Dik. Nggak tahu harus lewat mana,” kata Koplo mulai judheg.
Setelah dicari-cari, ternyata ada jalan keluar di dekat pintu gerbang. Cuma masalahnya, mereka bisa keluar namun sepeda motornya tidak bisa. Kebetulan di dekat situ ada warung hik. Sambil wedangan, Koplo pun Curhat pada penjualnya yang bernama Tom Gembus.
”Mas, di mana rumah juru kunci obyek wisata ini?” tanya Koplo.
”Jauh, Mas. Kira-kira 2 km dari sini,” jawab Gembus.
”Kalau sampean tahu mbok saya minta tolong ambilkan kunci gerbang wisata, Mas. Sepeda motor saya tidak bisa keluar,” pinta Koplo.
Gembus pun menyanggupi asal dengan syarat: Koplo dan Cempluk harus menjaga warung termasuk ngladeni pembeli sampai Tom Gembus kembali!
Setengah jam kemudian, juru kunci dan Tom Gembus datang membukakan pintu. ”Makanya, kalau piknik jangan sore-sore, biar nggak kekancingan,” wejang sang juru kunci.
Koplo dan Cempluk pun hanya bisa nggah-nggih-nggah-nggih, lalu pulang dan batal makan di karamba karena selera makan malam mereka sudah hilang.

Ibu Ilang...

Ketika Jon Koplo masih berumur enam tahun, ia punya kebiasaan nyleneh, yaitu kalau mau tidur harus dikeloni ibunya.

Bukan hanya itu saja, ia tidak akan bisa tidur kalau tidak bermain-main dengan rambut ibunya.
Bahkan dalam keadaan tidur saja, tangan Koplo masih menggenggam erat rambut sang ibu. Jadi untuk memastikan kalau ibunya masih di sampingnya, ia tidak perlu membuka mata, tinggal meraba rambut ibunya saja.
Nah, pada suatu hari, Jon Koplo diajak Lady Cempluk, sang ibu, nginep di rumah Bulik Gendhuk Nicole yang lagi punya gawe. Berhubung sudah malam, Jon Koplo mulai nggregeli minta dikeloni ibunya.
Karena Cempluk masih banyak kerjaan di dapur, setelah Jon Koplo tertidur, Cempluk terpaksa nglimpekke meninggalkan Koplo. Namun baru ditinggal lima menit saja, Jon Koplo sudah nglilir dan memanggil-manggil ibunya. Sang ibu pun terpaksa ngeloni lagi.
Hingga tengah malam, Koplo tak lagi nglilir, namun tangannya masih menggenggam rambut ibunya. Cempluk pun jadi nggak berani bangun meninggalkan Jon Koplo.
Tapi Bulik Nicole tak kehabisan akal. Ia ingat bahwa ia punya wig alias rambut palsu yang ndilalah-nya sama dengan jenis rambut Cempluk.
”Wis, Jon Koplo ben dolanan rambut palsu iki wae, dadi sampeyan ora sah nunggu Jon Koplo,” kata Gendhuk Nicole sambil menaruh rambut palsunya di tangan Jon Koplo yang masih terlelap. Cempluk pun bisa bebas meninggalkan Koplo.
Permasalahan selesai...? Belum Saudara-saudara! Ketika Jon Koplo nglilir ia langsung girap-girap, ”Ibuuu...! Ibu digondhol maling! Iki mung kari rambute thok... Hiii...! Ibu ilang, rambute ijek... Iki piye...?”
Cempluk yang tadinya mau menghampiri Koplo malah ngguyu ngakak mendengar ucapan Koplo tadi. Kontan saja semua orang yang di situ ikut-ikutan tertawa, tentu saja kecuali Jon Koplo yang masih takut campur bingung. Ada-ada saja...

Persis Plek

Pemadaman listrik berkali-kali yang dilakukan oleh PLN beberapa waktu yang lalu sempat membuat Lady Cempluk kalang kabut. Hari itu ia harus melengkapi dan menumpuk persyaratan panggilan kerja di sebuah SD full day school di Banyumas.

Nah, karena listrik mati, Cempluk jadi tidak bisa menggunakan komputernya. Alhasil, semua syarat-syaratnya terpaksa ia tulis dengan tangan serapi-rapinya, kemudian memaksa Jon Koplo, suaminya untuk mengantarkan mencari tempat fotokopi. Celakanya, beberapa tempat fotokopian tidak beroperasi karena oglangan.
Setelah muter-muter sampai tobat, akhirnya ada juga fotokopian yang buka alias tidak terpengaruh dengan pemadaman listrik. Tapi ya itu, antreannya kemruyuk. Karena saking kemrungsung-nya, tanpa melepas helm Cempluk dan Koplo ndhesel-ndhesel ikut antre juga. Perjuangan Koplo dan Cempluk akhirnya berhasil karena segala persyaratan yang difotokopi sudah selesai.
”Ayo Mas, cepet, sekolahane selak tutup,” kata Cempluk sambil njawil suaminya. Secepat kilat Koplo pun mengiyakan sambil menenteng helm yang diambilnya dari kursi, kemudian diletakkannya di tangki depan tempat duduk montor lanang-nya.
Ketika hampir sampai di tengah kota, Koplo mengambil helmnya dan menyerahkannya pada Cempluk, ”iki Pluk, helm-e dienggo dhisik, mengko ndhak kecekel pulisi!”
”Helm apa? Aku wis nganggo helm kok!” jawab Cempluk.
”Lho, lha iki mau heleme sapa?” Koplo mbingungi dhewe.
”Mene ketehe...!” sahut Cempluk sambil mengangkat bahu.
”Gek-gek...?” Koplo langsung putar arah balik kanan sambil mikir ini pasti helmnya orang yang sedang antre fotokopi tadi.
Benar juga. Di tempat fotokopian, orang-orang sudah pada ribut karena telah terjadi pencurian helm. Koplo pun datang dengan menenteng helm dengan wajah yang elik ngana kae. Berkali-kali harus minta maaf karena mengira itu helm isterinya. Habis persis plek sih...

Ijol Duit

Bulan Puasa tahun ini, wong Solo yang bernama Jon Koplo jadi sregep ke mesjid untuk salat Tarawih. Biasanya, saat Kultum menjelang Tarawih selalu ada kotak infak yang diedarkan.

Seperti biasanya pula, saat kotak infak sampai di depannya langsung saja ia operkan ke orang di sebelahnya. Bukannya pelit, tapi memang tidak ada duit.
Beberapa hari kemudian terbersit di benak Koplo untuk sekadar nyemplungi kotak yang selalu dilihatnya itu.
”Mumpung puasa, besok pas pengajian tak nyemplungi ah. Beli pulsa untuk dunia saja bisa mosok untuk akherat nggak modal blas,” batin Koplo.
Singkat cerita, keesokan harinya Koplo nyemplungi kotak itu. Ketika kotak infak sampai di depannya, ia langsung merogoh dompet dan secepat kilat ia ambil satu dari dua lembar uang yang ia persiapkan. Uang itu langsung ditekuk-tekuk dan dicemplungkan ke kotak biar tidak dilihat orang lain.
”Jangankan orang lain, saat tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai melihat,” begitu batin Koplo lega karena sudah berinfak dengan ikhlas.
Tetapi tiba-tiba perasaan Koplo jadi tidak enak. Saat Koplo membuka lagi dompetnya, wajahnya mendadak pucet. Ternyata ia salah ambil duit! ”Wadhuuuh, janjine nyewu kok sing nyemplung malah sing seket ewu!” batin Koplo sambil berpikir untuk mendapatkan ”harta”nya kembali.
Setelah pengajian selesai Koplo langsung menemui panitia yang sedang menghitung uang infak.
”Mas, saget lintu arta?” katanya pada Tom Gembus yang sedang membuka kotak infak.
”Lintu pinten, Mas?” tanya Gembus.
”Sing seket ewu niki wau dhuwit kula, kula ijoli niki!” kata Koplo sambil menyerahkan selembar uang seribuan yang diambil dari dompetnya. ”Kangge mbayar listrik Mas, salah jupuk!” terang Koplo kaya wong ora duwe isin.
Setelah dijelaskan kronologinya Tom Gembus pun percaya dan mengembalikan uang itu kepada yang empunya sambil ngampet guyu.
”Alhamdulillah, biar malu yang penting ikhlas,” batin Koplo sambil ngguya-ngguyu dhewe.

Aras-Arasen

Lady Cempluk, ibu rumah tangga yang punya samben jualan Sembako di rumahnya di daerah Laweyan ini sering merasa judheg. Bagaimana tidak? Ketiga anaknya yang sudah remaja itu sering klayapan sehingga motor di rumah tak pernah tersedia.
Sampai-sampai ketika akan kulakan sering cotho karena tak pernah ada kendaraan.
”Plo, nanti motornya mau tak pakai kulakan. Jangan dipakai klayapan lho,” pesan Cempluk kepada anak mbarep-nya, Jon Koplo.
”Wadhuh, Bu. Kadhung janji sama temen-temen mau pergi ke Cokro, ada acara ulang tahun. Nanti siang ya, Bu?” jawab Koplo masih ngenyang.
Siangnya, begitu menerima kunci kontak dari Jon Koplo, Lady Cempluk langsung nggeblas ke Pasar Legi untuk kulakan. Bahkan karena sudah beberapa hari tidak kulakan, Cempluk terpaksa agak mborong sehingga barang bawaannya pating gendheyot ngana kae.
Pulangnya, sampai di belakang Sriwedari ndilalah mak bedunduk, Cempluk dihadang sekawanan polisi yang sedang melakukan razia kendaraan. ”SIM dan STNK-nya mana, Bu?” tanya Pak Polisi.
Cempluk segera membuka dompet dan menyodorkan SIM-nya.
”Lha STNK-nya mana?” tanya Pak Polisi lagi.
Cempluk tampak aras-arasen karena biasanya STNK-nya ditaruh di dalam bagasi di bawah jok motor, sementara di jok belakang motornya telah bertengger dua karung beras.
Dengan polosnya, Cempluk pun bilang sama Pak Polisi, ”Ngapunten Pak, nyuwun tulung sampeyan usungke beras kula niki, amargi STNK-ne ten njero jok motor.”
Pak Polisi pun tak kalah aras-arasen setelah melihat barang bawaan Cempluk.
”Ya sudah Bu, silakan terus,” suruh Pak Polisi membebaskan Cempluk dari mokmen.
Sampai di rumah, Jon Koplo l
angsung membantu menurunkan beras sambil berkata, ”Bu, mau STNK-ne kok ditinggal? Kae isih tak simpen neng dhompetku, durung tak balekke neng jok motor...”
Lady Cempluk hanya bisa melongo...

Bukan Jodohnya

Kisah menggelikan ini berawal dari keinginan Jon Koplo, pelajar SMA di Solo yang tinggal di Kartasura, untuk mengabadikan momen perpisahan dan pelepasan sekolahnya dengan foto-foto.
Namun berhubung Jon Koplo tak punya kamera, ia berinisiatif untuk pinjam kamera milik Tom Gembus, tetangganya.
”Nyoh, gawanen. Ning bateraine tuku dhewe!” pesan Tom Gembus.
”Beres, Mbus. Tur nuwun!” sahut Koplo singkat.
Esok harinya, dalam perjalanan menuju ke tempat acara pelepasan, Koplo mampir membeli batu baterai di warung. Sampai di gedung tempat acara berlangsung, teman-teman Koplo sudah pada berkumpul. Koplo pun segera mengumpulkan teman-temannya.
”Cah, ayo foto-foto bareng dhisik!” ucap Jon Koplo seraya mempersiapkan kamera cap silihan-nya.
Saat teman-temannya telah berpose dengan rapi, Koplo pun segera memfokuskan lensa kameranya dan segera memberi aba-aba sambil memencet tombol ”OK” pada kamera itu. ”Satu... dua... ti...”
Tapi apa yang terjadi Pembaca? Mak pet! Bukannya dapat memfoto, kamera itu malah mati seketika. Terang saja, Koplo dan teman-temannya pun jadi keheranan.
”Piye ta Plo? Isoh nganggo ora?” ledek Lady Cempluk, salah satu temannya.
”Embuh ki... Padahal bateraine anyar gres!” jawab Koplo beralasan seraya mengeluarkan baterai dari dalam kamera.
Namun suasana jadi gerrr sanalika saat Jon Koplo memperlihatkan baterai di depan teman-temannya.
”Oalah, Plo... Plo! Kapan bisa dipakai, lha wong bateraine wae dudu jodhone! Baterai ini kuatnya cuma buat jam dinding. Nggak bisa buat kamera!” jelas Cempluk.
Koplo cuma bisa plenthas-plenthus kisinan karena ketidaktahuannya

Kelangan Pit Kebo

Kendaraan berupa Pikeb alias pit kebo sudah menjadi trade mark bagi Mbah Jon Koplo, seorang purnawirawan TNI AU yang tinggal di Ngadirejo, Kartasura ini. Di mana ada pit kebo, di situ pasti ada Mbah Jon Koplo.
Beberapa waktu lalu, Mbah Koplo bermaksud menghadiri pertemuan anggota Pepabri di sebuah gedung pertemuan di Desa Ngabeyan, Kartasura. Berhubung waktunya mepet, setelah berpamitan kepada orang rumah, Mbah Koplo mampir dulu ke rumah Tom Gembus untuk pinjam brompit milik Gembus agar tidak telat.
Singkat cerita, pertemuan pun usai. Ketika hendak mengambil kendaraan di tempat parkir, di sinilah peristiwa menggegerkan itu terjadi.
”Lho, pitku kok ora ana?” gumam Mbah Koplo sambil clingak-clinguk. Bahkan hingga teman-temannya pada pulang semua, tidak ada pit onthel yang diparkir di sana. Yang ada hanya tinggal sebuah sepeda motor.
Namun tanpa menyadari kepikunannya, Mbah Koplo tetap saja ngeyel kepada tukang parkir untuk mencarikan kendaraan kesayangannya. ”Mas, pokoknya sampeyan harus bertanggung jawab! Kalau sampai pitku ilang te- nan, sampeyan harus ngijoli!” Mbah Koplo muring-muring.
Petugas parkir pun jadi gelagapan. Akhirnya sebagai bentuk pertanggungjawaban, petugas parkir itu lantas mengajak Mbah Koplo melapor ke kantor polisi terdekat.
Sampai di rumah, Mbah Koplo hanya bisa thenger-thenger meratapi raibnya barang kesayangannya itu. Anggota keluarga Mbah Koplo hanya bisa turut prihatin dan merasa kasihan.
Barulah ketika menjelang sore, suasana kaku di rumah Mbah Koplo mencair ketika Tom Gembus datang sambil mengantarkan Pikeb yang sedang menjadi story itu.
”Kula nuwun Mbah, mau ngundurke sepeda panjenengan...” ujar Tom Gembus.
Kontan Mbah Koplo mak jenggirat kaget dan bangun dari lincaknya, lalu menyambut kedatangan Gembus dengan wajah berseri-seri. Di sinilah ia baru menyadari kepikunannya. Ia cuma bisa gedheg-gedheg sambil ngeplaki bathuke dhewe

Jujur Bikin Kojur

Lady Cempluk, ibu muda warga Pucangan Kartasura ini sebenarnya senang dengan Jon Koplo, anaknya yang masih duduk di kelas nol besar, yang masih lugu dan polos.
Namun untuk peristiwa bulan lalu, Cempluk malah menjadi korban kepolosan dan kejujuran Koplo. Lho kok bisa?
Sudah tiga bulan ini, Lady Cempluk tidak ikut arisan PKK di RT-nya. So, ia sudah tiga kali tidak lebon alias membayar uang arisan. Walau sempat menjadi rasan-rasan karena tunggakannya itu, ia cuek bebek saja. Biasanya untuk menghindari acara arisan, Cempluk mlencing dari rumah dengan berbagai alasan. Tapi bulan lalu lalu ia tidak keluar rumah karena babar blas tidak punya uang untuk bepergian. Satu-satunya jalan hanya dhekem di kamar agar tidak diampiri tetangganya untuk diajak arisan.
”Plo, nanti kalau ada yang ngampiri arisan, bilang ibu sedang pergi ya!” pintanya pada anaknya yang sedang asyik bermain play station.
”Ya Bu,” jawab Jon Koplo singkat tanpa nggagas maksud dari kata-kata ibunya tadi. Mata dan pikirannya lebih terfokus pada balapan mobil di PS yang sedang dimainkannya. Tak lama kemudian Gendhuk Nicole, si bendahara arisan ngampiri Cempluk.
”Plo, ibu ada nggak?” tanya Gendhuk Nicole.
”Ada,” jawab Gembus singkat tanpa mempedulikan dan tangannya tetap asyik bermain PS.
”Mana? Tolong panggilkan,” pinta Nicole.
”Nggak bisa. Tadi Ibu pesan kalau ada yang ke sini suruh bilang ibu sedang pergi,” jawab Koplo jujur.
”Ha-ha-ha... Jadi ibumu di kamar? Ya sudah, biar tak panggil sendiri,” sahut Nicole lalu nyelonong ke kamar Cempluk.
Lady Cempluk yang berada di kamar hanya bisa mengerutu, persa-persu sambil mecucu akibat keluguan Koplo.
”Oalah Mbakyu... Mbakyu. Anak kecil kok disuruh bohong, kan nggak baik,” tegur Nicole.
”Anu kok Jeng... maksud saya itu... badan saya sedang greges-greges,” jawab Cempluk sekenannya.
”Ya sudah, nggak rawuh juga nggak papa. Iurannya dititipkan saya saja,” sahut Nicole.
”Ya itulah masalahnya Jeng, cicilannya itu yang bikin saya greges-greges,” jawabnya kecut.
Gendhuk Nicole pun jadi mencas-mencos sajak ewoh. Sebagai bendahara ia merasa disepelekke tersingung atas kelakuan Cempluk yang mbeler. Sebentar kemudian Nicole pun pergi tanpa pamit.

Kelangan Untu

Penyakit lupa bisa menghinggapi siapa saja, termasuk sohib kita Jon Koplo yang usianya sudah berkepala lima. Warga Karangasem Solo ini sering menaruh barang glethak-glethek dan lupa menyimpannya.
Nah, beberapa waktu lalu pada suatu sore Pak Koplo membersihkan gigi palsunya. Karena keburu pergi, ia lupa memasang gigi palsunya. Sang isteri, Lady Cempluk yang mengetahui ada untu gemlethek tersebut lalu mengamankan dengan membungkusnya pakai kertas tisu dan diletakkan di atas meja makan sambil grundelan, ”Ooo, dasar orang pelupa. Naruh gigi palsu sembarangan, nanti kalau mau pakai baru mbanyaki.”
Pulang dari bepergian Koplo langsung mencari gigi palsunya.
”Bune, tadi kamu nyimpen gigiku?” tanya Koplo pada isterinya.
”Tadi tak bungkus pakai kertas tisu lalu tak taruh di meja makan sini,” jawab Cempluk sambil ikut ubek mencari sang gigi yang raib.
Akhirnya gigi palsu tersebut ditemukan di pojok yang ndhelik di bawah kulkas dalam keadaan bungkus tisunya modhal-madhul.
”Wadhuh cilaka Bune! Untuku dikemah-kemah tikus!” bengok Koplo.
”Lha itu masih utuh gitu kok. Yang sobek cuma bungkusnya. Giginya kan masih bisa dipakai,” jawab sang isteri.
”Emoh ah! Untu bar diemut tikus kok kon ngemut. Jijik aku,” ujar Pak Koplo.
”Lha kalau nggak mau makai terus gimana? Padahal besok kita jadi among tamu mantenannya Tom Gembus dan Gendhuk Nicole, apa Penjenengan mau tampil dengan wajah kempong perot seperti itu?” tanya Cempluk.
”Kalau mau pesen gigi yang semalam bisa jadi ke mana ya Bune?” sambat Pak Koplo.
”Ada Pak, pesen di Prambanan, sama Bandung Bandawasa! Bikin candi saja bisa jadi semalam, apalagi bikin gigi...” jawab isterinya sambil cekikikan terus berlalu.


Kostum Dagelan

Musim hajatan manten beberapa waktu lalu membawa berkah bagi Ki Dalang Jon Koplo yang berdomisili di Ampel, Boyolali. Dalam sepekan ia dan krunya bisa mendapat tanggapan 3 hari berturut-turut.
Bisa dibayangkan, betapa ”sedap”nya bau blangkon dan baju seragam mereka.
”Pak, gimana kalau pagi ini kostumnya kita cuci semua? Nanti pas manggung di rumah Yu Cempluk biar bajunya terasa enak dan tidak bau,” usul Tom Gembus si penabuh gong pada Jon Koplo.
”Kostum kita kan tebal-tebal dan berat, nanti kalau nggak kering gimana?” tanya Koplo.
”Ya pasti kering wong udaranya cerah begini. Biar saya yang nyuci saja. Saya nggak pede dan nggak konsentrasi kalau kostumnya bau dan bikin gatel seperti kemarin malam,” Gembus meyakinkan.
Setelah mendapat garansi dari Tom Gembus, Koplo pun sepakat mencucikan pakaian seragam rombongannya.
Namun malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Pada saat acara cuci-mencuci usai, ndilalah cuaca mendung dan hujan turun sehingga membuat semua baju seragam komoh-komoh, nggak bisa kering.
Jon Koplo lalu meminta Yu Cempluk yang akan menanggapnya nanti malam untuk mencarikan kostum sewaan untuk seluruh krunya dengan konsekuensi honornya dipotong untuk biaya sewa.
Akhirnya malam hari tiba. Ternyata kostum yang ia minta gagal didapatkan.
”Lha, gimana lagi Mas, nyari persewaan di manapun nggak ada,” jawab Cempluk beralasan.
Apa boleh buat. Jon Koplo sak rombongan tetap harus pentas. Bagi Jon Koplo sendiri nggak masalah karena pakaian dalang bisa bebas, tapi seragam untuk niyaga alias penabuh gamelan?
Pikir-punya pikir, akhirnya Ki Dalang Jon Koplo mengambil jalan pintas. Para niyaga terpaksa memakai seragam sinoman yang memang cukup banyak tersedia sebagai inventaris kampung. Tan kocapa, pentas Jon Koplo dkk malam itu malah jadi gayeng.
Baru keluar saja sudah mengundang gelak tawa para tamu karena para niyaganya pakai seragam sinoman. Biar tambah gayeng, dalam pentasnya Jon Koplo mbanyol sekalian. Alhasil, pentas malam itu malah jadi ger-geran.

Lali Sakplengan

Dampak kenaikan harga BBM sungguh terasa berat bagi wong cilik seperti Jon Koplo yang tinggal di Wirogunan, Kartasura.
Sebagai pekerja harian dengan standar gaji UMR, karyawan sebuah pabrik di Gatak Sukoharjo ini harus menghidupi isteri dan seorang anaknya yang sebentar lagi masuk SD.
Makanya ia harus petung njlimet agar dapurnya bisa tetap ngebul sampai akhir bulan. Itu pun terkadang meleset hingga terpaksa harus ngutang sana-sini.
Satu-satunya harta paling berharga yang tersisa adalah motor CB 80 miliknya. Meski sudah sekian tahun menemani berangkat dan pulang kerja, namun berhubung umurnya telah uzur dan bahan bakarnya tak bisa lagi ngirit, Koplo terpaksa ngedol motor kesayangannya itu.
Esoknya, Koplo pun berangkat kerja dengan pit onthel yang selama ini nganggur di rumah.
”Idhep-idhep olahraga,” batinnya sambil ngeyem-yemi dirinya sendiri.
Singkat cerita, hari itu Koplo super sibuk dengan pekerjaannya, sampai makan pun masih kepikiran gawean.
”Theng-theng-theng...!” bel tanda usai kerja pun berbunyi.
Mak rheguduuug... para karyawan pun pada keluar termasuk Jon Koplo. Sampai di tempat parkiran, Koplo tampak lingak-linguk kebingungan.
”Mas Koplo ki nggoleki apa ta?” sapa Gendhuk Nicole, teman kerjanya yang sudah siap nangkring di atas pit montor-nya.
”Cari CB-ku. Di mana ya? Biasanya tak parkir di sini, tapi kok nggak ada?” jawab Koplo.
”Mengko gek ilang Mas?” celetuk Gendhuk Nicole sambil terus wara-wara. Sebentar kemudian tersebar isu bahwa CB Koplo hilang. Sesaat kemudian Koplo pun bagai selebritis yang dikerubuti wartawan.
Setelah kira-kira sepuluh menit dan parkiran itu sepi dari motor, di ujung sana terlihat ada sebuah pit onthel yang terparkir nyenil sendirian.
”Lha, itu sepedanya siapa?” tiba-tiba Satpam Tom Gembus nyeletuk sambil menunjuk ke arah sepeda itu. Serentak semua mata mengikutinya termasuk Jon Koplo.
”Oh, iya dhing! Kae rak pit onthelku...!” celetuk Koplo yang baru sadar sambil nyekel bathuke dhewe.
”Huuuuu...!!!” tanpa dikomando, semua temannya tadi pada mecucu...

Kosong Blong

Kampus... kampus... kampus...!” Begitulah cara kerja Jon Koplo, berteriak-teriak sambil bergelantungan di pintu bus kota untuk mengejar rezeki setiap hari. Ia tidak sendirian melainkan bekerja satu atap dengan Tom Gembus yang berprofesi sebagai sopir.
Sejak lima tahun lalu mereka berdua setiap harinya menyusuri jalan-jalan di Kota Solo.
Suatu pagi yang kurang cerah, seperti biasanya Koplo bersama Gembus mengawali pekerjaannya memburu penumpang untuk mengejar setoran. Ketika itu bus melaju di daerah Jebres dengan kecepatan tinggi. Dari kejauhan tampak seorang perempuan cantik, sebut saja Gendhuk Nicole, ngawe-awe nyegat bus.
”Kampus... kampus... mburi kosong Mbak... mburi kosong...!” teriak Koplo. Gembus pun memperlambat laju bus yang dikemudikannya.
Seperti biasa Koplo turun untuk mempersilakan Gendhuk Nicole naik ke bus. Melihat target sudah dalam posisi aman, Koplo pun ngabani Gembus, ”Yooo... tariiik...!” Sang bus pun mulai bergerak untuk malanjutkan perjalanan.
Tapi jauh di belakang, tiba-tiba saja ada seorang perempuan lagi, sebut saja Lady Cempluk, tampak melambaikan tangan sambil lari-lari. Tanpa pikir panjang, Koplo pun mencolot turun sambil teriak, ”Kampus, Mbak...? Yo, isih kosong,” katanya sambil membimbing calon penumpangnya untuk naik ke bus.
Tapi apa yang terjadi? Ternyata bus yang dikemudikan Tom Gembus sudah bablas melanjutkan perjalanan. Rupanya Tom Gembus tidak nggagas kalau kondekturnya tadi turun. Jon Koplo yang ketinggalan bus pun harus berlari mengejar sambil bengak-bengok tanpa menghiraukan Lady Cempluk lagi. Tom Gembus baru sadar setelah salah satu penumpangnya nyeletuk, ”Pak sopir, kae lho kondekturmu ngajak balapan!” sambil disambut paduan tawa dari para penumpang di dalam bus.

Londo Keblasuk

Meski usianya sudah senja dan penglihatannya sudah blawur, Mbah Jon Koplo, warga Kartasura yang dulu tinggal di seputar Pasar Klewer ini sangat senang bila melihat turis asing yang kerep wira-wiri di depan rumahnya.
Suatu hari, ketika Mbah Koplo sedang leyeh-leyeh di teras rumah, tiba-tiba kedatangan seorang perempuan cantik berambut pirang.
Mbah Koplo senang-senang-susah. Senang karena merasa dikunjungi landa, namun susahnya tak mudheng ngomong bahasa Inggris.
”Hallo, Miss... Mangga, silakan masuk,” sapa Mbah Koplo dengan mimik serius.
Berhubung kebingungan dan takut ditanyai dengan bahasa Inggris, Mbah Koplo bergegas masuk ke rumah dan memanggil anaknya, Lady Cempluk. ”Pluk, kae lho ana tamu,” lapor Mbah Koplo.
”Sinten tamune Pak?” tanya Cempluk.
”Ana nyonyah landa mampir. Aku ora isa basane, kowe wae sing nemoni,” kata Mbah Koplo.
Setelah melihat tamunya, Lady Cempluk malah ngguyu ngakak. ”Oalah, Pak... Pak. Mosok ora kenal karo putune dhewe. Iki rak Gendhuk Nicole!” ujar Lady Cempluk.
Rupanya yang datang ke rumah adalah Gendhuk Nicole, puteri Lady Cempluk yang baru mudik dari luar kota. ”Ooo... tak arani nyonyah landa, bul putuku dhewe ta! Lha rambutmu kok malih dadi abang ki apa kerep kepanasen ta Ndhuk?” tanya Mbah Koplo.
Kontan saja ibu dan anaknya itu tambah kemekelen sampai mbrebes mili.

Tambah Ruwet

Siang itu seperti biasanya Jon Koplo ngetem di pertigaan Kerten bersama bus kota yang dikendarainya untuk menunggu penumpang. Itulah salah satu kiat Koplo dan teman-teman seprofesinya mencari penumpang untuk mengejar setoran.
Maklum, semakin banyak orang punya motor sendiri, penumpang bus kota makin lama makin sepi. Apalagi setelah tarif bus kota membuntuti kenaikan harga BBM.
Namun disadari atau tidak, kehadiran bus-bus kota yang ngetem di situ makin menambah ruwetnya arus lalu lintas mengingat tempat itu padat kendaraan dan tempat bus antarkota menurunkan penumpang.
Melihat lalu lintas yang pating semrawut seperti itu, Tom Gembus, salah seorang polisi yang berjaga di pos terdekat tidak tinggal diam. Dengan sepeda motor kesayangannya, Gembus segera meluncur dan menghampiri serta ngopyak-opyak agar Koplo segara menjalankan busnya. Dengan tampang sangar polisi itu pun memaki-maki dan mengancam akan menilang Koplo karena membuat ruwet arus lalu lintas.
Merasa bersalah, Koplo hanya bisa manthuk-manthuk dan segera menjalankan busnya supaya tidak kena Tilang. Tapi baru saja Koplo menginjak pedal gasnya tiba-tiba mak grobyak...! Koplo merasa busnya menabrak sesuatu. Dan celakanya yang ditabrak tak lain dan tak bukan adalah motor milik Tom Gembus yang diparkir di depan bus yang dikendarainya.
Tak ayal, polisi itu pun tambah mencak-mencak pada Koplo. Wajah Koplo pun langsung mbleret, pucet saknalika. Persoalan jadi tambah ruwet, Koplo yang tadinya hanya diunek-unekke Pak Polisi itu kini benar-benar harus berurusan langsung dengan pihak berwajib alias kena Tilang.
Setelah menurunkan semua penumpangnya, Koplo hanya bisa pasrah bongkokan digiring ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan kecerobohannya.
Oalah Plo... Plo. Kepingin bathi, malah tombok...

O-o, Kamu Ketahuan...

Inilah pelajaran bagi orang yang tidak taat peraturan. Sejak lulus SMA Jon Koplo, warga Karanganom Klaten ini malas membuat SIM meskipun ia sudah mahir naik motor. Alhasil, sampai sekarang ia alergi dengan yang namanya polisi.
Kalau melihat ada cegatan ia selalu cari strategi yang jitu untuk meloloskan diri.
Namun sepandai-pandai tupai melompat akhirnya bisa njiglok juga. Ketika sedang meluncur menuju Solo, tiba-tiba di daerah Pakis ada mokmen alias operasi kendaraan. Tak kurang akal, Koplo langsung menghentikan motornya di sebuah warung buah-buahan dan nggabung dengan pembeli lainnya, pura-pura ikut menawar buah.
Tanpa disadari, ternyata gerak-gerik sohib kita ini diamati oleh salah seorang polisi, sebut saja Tom Gembus, yang segera berjalan mendekat ke warung buah.
Merasa terancam, Jon Koplo langsung ndhelik di belakang warung. Tom Gembus pun bertanya kepada orang-orang yang sedang membeli, tak terkecuali si penjual.
”Maaf Saudara-saudara, ini sepeda motor siapa?” tanya Tom Gembus.
Para pembeli pun saling pandang, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Setelah beberapa kali bertanya tidak ada yang menjawab, Gembus pun ancang-ancang untuk membawa sepeda motor itu.
”Baik, kalau tidak ada yang mengaku, sepeda motornya saya bawa ya?” kata Tom Gembus.
Orang-orang yang ada di warung buah pun hanya mesem-mesem saja mendengar ucapan Pak Gembus. Dan karena takut motornya dibawa, Koplo pun terpaksa njedhul dari belakang warung.
”Pak... Pak... Itu mmm... motor saya,” ucap Koplo sambil cengar-cengir...

Smackdown di RSJD

Hati-hati bila berhadapan dengan pasien rumah sakit jiwa, termasuk yang sudah dinyatakan sembuh sekalipun. Kalau tidak, bisa jadi akan mengalami nasib seperti Lady Cempluk, salah seorang karyawan Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Solo ini.
Suatu ketika, Cempluk merasa kecapekan setelah seharian karyawan bagian rumah tangga ini membuat makanan untuk penghuni RSJD tersebut. Berhubung kepalanya pusing dan perutnya kembung, ia memutuskan untuk minta dikeroki.
Sayangnya, saat itu teman-teman Cempluk sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Akhirnya ia minta tolong kepada salah seorang pasien yang lumayan lama berada di RSJD.
Sebenarnya pasien tersebut sudah dinyatakan sembuh, namun belum dibawa pulang oleh keluarga yang bersangkutan. Karena sudah kenal akrab, Gendhuk Nicole pun bersedia saja dimintai bantuan.
Sambil kerokan, Cempluk iseng-iseng bertanya tentang masa lalu Gendhuk Nicole, sekaligus mengecek apakah pasien itu sudah benar-benar sembuh atau belum. Tak sengaja Cempluk bertanya perihal suaminya, padahal karena masalah perselingkuhan suaminya itulah Nicole menjadi gila.
Lady Cempluk yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba saja menjadi sasaran kemarahan sang pasien yang kumat mendadak.
Dengan penuh kemarahan Gendhuk Nicole ndulit balsem yang dipakai untuk kerokan dan meratakannya ke muka Cempluk. Sambil ngomel-ngomel nggak karuan ia mengira Cempluklah yang merebut suaminya. Cempluk tentu saja kaget dan berusaha lepas dari cengkraman pasien sedang mengamuk tersebut. Beruntung Cempluk punya bodi lebih gede dan tenaga yang lebih kuat. Dengan sigap Cempluk membanting tubuh Nicole ke lantai dan mencengkram tangannya agar tidak melangsungkan aksi brutalnya. Setelah beberapa waktu adegan smackdown itu berlangsung, akhirnya sang pasien tersadar. Ia pun meminta ampun dan minta dilepaskan.
Lady Cempluk yang mukanya belepotan balsem segera mencuci muka. Sejak saat itu Cempluk kapok untuk minta tolong ke pasien lagi.

”Pengamat” Fashion

Jadi orang baik ternyata malah merepotkan. Nggak percaya? Tanya saja pada Lady Cempluk, mahasiswi PTN markotop di Kota Solo ini.
Kisah nyata ini terjadi beberapa waktu yang lalu. Siang itu, setelah urusan di kampusnya selesai, Cempluk jalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jl Slamet Riyadi. Di lantai dua, ia melihat-lihat kaus dan celana yang diletakkan di boks besar.
Eloknya, setiap kali membuka kaus ataupun celana, Cempluk selalu melipat dan menatanya kembali, tidak seperti kebiasaan kebanyakan orang yang kalau melihat-lihat hanya dijereng, lalu di-oprokke begitu saja tanpa ditata seperti semula.
Tak lama kemudian, datanglah seorang ibu berpakaian modis yang ikut memilih-milih kaus dan celana pendek. Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba saja ibu itu bertanya kepada Cempluk dengan gaya sok akrab ngana kae, ”Mbak... Mbak, celana ini cocok nggak sama kaus yang ini?”
Cempluk pun menjawab dengan ramah plus bangga karena merasa dipercaya sebagai pengamat fashion, ”Wah cocok sekali, Bu. Apalagi kalau warnanya yang ini Bu, atau... yang ini!” jawab Cempluk sambil menunjuk ini itu.
”Tapi ini kok kayaknya terlalu kecil ya, Mbak. Yang besar ada nggak Mbak?”
”Wah, maaf Bu, saya kurang tahu,” jawab Cempluk.
”Lha mbok tulung dicariin yang ukurannya lebih besar, Mbak!” pinta ibu itu setengah memaksa.
Cempluk mulai merasa ada yang tidak beres, tapi tetap saja ia menjawab dengan sabar, ”Coba dicari di boks ini dulu Bu, barangkali ada.”
”Nggak ada gitu kok. Mbok tolong diambilin atau dicariin stok di dalam dulu, Mbak!” perintah ibu itu.
”Lha rak tenan ta, aku dikira karyawati kene,” batin Cempluk mangkel.
”Maaf Bu, saya bukan karyawati sini,” terang Cempluk.
”Lha Mbak-e tadi ngapain kok lempit-lempit kaus di sini?”
Cempluk baru mudheng duduk perkara kesalahpahaman tadi.
”Saya kan pembeli yang baik, Bu. Habis saya buka, saya lihat ya lalu saya lipat lagi, biar rapi dan nggak ngrepotke karyawati sini!” jelas Cempluk sambil ngeloyor pergi.

Laptop Sarungan

Jon Koplo, seorang karyawan swasta di Wonogiri, suatu hari dapat pinjaman flashdisk dari temannya. Berhubung di rumah nggak ada komputer, ia langsung njranthal ke tempat kos temannya yang bernama Tom Gembus.
Tom Gembus adalah staf tata usaha di SMA terkenal di Kota Gaplek. Di lingkungan kosnya, Gembus ini terkenal alim karena ia juga guru ngaji di mesjid kampung di samping kosnya.
”Mbus, bawa laptop nggak? Aku mau pinjam sebentar buat mbukak flashdisk,” pinta Koplo.
Tom Gembus yang sedang nglembur tugas sekolahnya itu menghentikan kegiatannya dan mengambilkan laptop milik sekolahnya untuk dipinjamkan ke Jon Koplo. Tapi dasar Jon Koplo yang memang Gaptek, dia minta Tom Gembus membuka sekaligus mengaktifkan laptopnya. Flashdisk segera dicolokkan ke laptop dan mak byar, layar langsung terbuka.
”Wis aktif, Plo. File yang mau dicari tinggal di-klik saja,” saran Gembus yang kembali sibuk dengan tugasnya.
Koplo yang sedari awal penasaran dengan isi flashdisk itu berlagak sok tahu dan langsung klak-klik-klak-klik semua file yang ada di layar.
Tak lama setelah meng-klak-klik mouse laptop, mendadak wajah Jon Koplo melongo setengah pucat. Ternyata salah satu file di flashdisk itu ada tulisan 17+ yang tengah loading alias dalam proses membuka. Dasar Gaptek, ia pun meng-klik semua tombol meng-cencel proses loading yang berisi gambar-gambar dewasa itu.
”Wah gawat! Kalau Gembus sampai tahu, bisa celaka nih!” batin Koplo sambil deg-degan gugup.
Di tengah usaha keras Koplo mematikan tulisan 17+ itu ndilalah adik Tom Gembus, Gendhuk Nicole yang kebetulan juga tinggal satu kos dengan kakaknya itu tanpa dinyana-nyana langsung nongol di kamar Gembus. Karuan saja, Koplo gragapan, takut kalau tulisan layar laptop itu terlihat oleh Gendhuk Nicole yang masih belum cukup umur.
Saking paniknya, maka sarung selimut yang kebetulan tergantung di pintu kamar pun langsung disambar Koplo dan di-krukup-kan ke layar laptop.
”Lho Mas, laptopnya kok dikrukupi sarung?” tanya Gendhuk Nicole heran.
”Ngg... anu, laptopnya lagi tak bersihkan kok, Dik,” jawab Koplo sekenanya sambil pura-pura membersihkan layar laptop pakai sarung kumal itu.
”Ooo...!” sahut Nicole setengah heran. Tak lama kemudian, Nicole pun kembali ngeloyor pergi sambil geleng-geleng kepala.

Diplekotho

Fisika adalah pelajaran yang banyak dibenci murid SMA. Namun entah mengapa Jon Koplo menyukai pelajaran yang tergolong angel itu. Siswa salah satu SMA favorit di Solo ini sebenarnya nggak pintar-pintar amat, namun bisa dibilang cerdas.
Malam sebelum ujian semester I lalu, belajarnya juga nggak mempeng-mempeng banget, cuma membaca buku pegangan dan nggarap soal-soal di lembar kerja siswa (LKS).
Hingga saat ujian pun Koplo benar-benar lancar mengerjakan soal-soal fisika, tidak sebagaimana teman-temannya yang mengerjakan soal sambil prengat-prengut.
Singkat cerita, hasil ujian pun diumumkan. Dan ndilalah Koplo dapat nilai 98. Teman-tamannya pada ngrubung dan mewawancarai kenapa Koplo dapat nilai bagus wong bintang kelasnya saja cuma dapat 60, sementara nilai rata-rata kelasnya 47.
Setelah ujian semesteran berakhir seperti biasa tidak ada pelajaran. Yang ada hanya pertandingan olahraga antarkelas (class meeting). Namun Koplo malas ke sekolah. Dia memilih main game di rumah.
Sekitar pukul 09.00 WIB telepon di rumah Koplo berdering. Ternyata yang menelepon itu temannya, Tom Gembus.
”Plo, ngapa ora mlebu?”
”Males, Mbus. Nggak ada pelajaran, lagian aku juga nggak ikut class meeting, ngapain masuk?”
”Heh, Plo, kamu tadi dicari Bu Cenmpluk, Guru Fisika. Mau disuruh ikut Olimpiade Fisika. Seleksinya hari ini!”
Mak jenggirat, tiba-tiba Jon Koplo pun menjadi semangat untuk berangkat ke sekolah.
Sampai di sekolah, ia langsung njujug ke kantor guru untuk menghadap Bu Cempluk.
”Maaf Bu, saya terlambat. Seleksi olimpiade fisikanya di mana, Bu?” tanya Jon Koplo sambil terengah-engah.
”Seleksi olimpiade fisika? Maaf, Ibu kok malah kurang tahu. Sepertinya masih lama kok. Yang jelas bukan hari ini...”
Merasa diplekotho Jon Koplo pun segera berlari ke kelasnya mencari Tom Gembus cs. ”Wooo, wong edan ki. Tiwas aku ngebut, tekan kene bul mung mbok apusi ta, Le?” Koplo misuh-misuh.
”Ha-ha-ha... Sori Plo. Salahe kowe entuk biji apik dhewe.
Nek pinter ki mbok dibagi-bagi. Aja dipek dhewe...”

Mak Nyooosss...

Jon Koplo yang masih tercatat sebagai mahasiswa sebuah PTS ternama di Kota Solo ini adalah perokok berat, maksudnya berat untuk membeli.
Selain itu ia juga dikenal sebagai mulut asbak karena segala merk rokok bisa ditampungnya. Pokil-nya lagi, ke mana-mana ia selalu paitan korek api tapi tak pernah bawa rokok. Ia selalu nodong teman-temannya kalau mau merokok.
”Mbus, aku urun korek-e, kowe urun rokok-e,” begitu kata-kata nylekit setiap meminta rokok dari Tom Gembus, salah satu temannya. Dan kalau sudah begitu Gembus yang sudah tahu tabiat Koplo tak bisa berbuat apa-apa selain memberi sebatang rokok.
Karena dinilai sudah keterlaluan pokil-nya, saking juengkel-nya, Gembus menyusun strategi supaya Koplo kapok.
Diambilnya sebatang rokok, lalu sebagian tembakaunya dikeluarkan dan dimasukkannya beberapa pentholan korek api pada rokok tersebut, kemudian ditutup dengan tembakau lagi. Setelah siap dengan jebakannya, Gembus pun membawa rokok rekayasa tersebut ke kampus.
Sampai di kampus Gembus sengaja ikut kongkow-kongkow dengan teman-temannya sambil menunggu Jon Koplo. Tak berapa lama akhirnya yang ditunggu datang juga. Melihat teman-temannya pada udud klepas-klepus, Jon Koplo pun mendatangi Tom Gembus.
”Mbus, merokok itu dapat menyebabkan kanker, serangan jantung dan impotensi. Demi teman, aku mau membantu menjaga kesehatanmu, dengan mengurangi rokokmu,” itulah basa-basi Koplo yang ujung-ujungnya minta rokok.
”Rasah kakehan iyik, bilang saja minta rokok!” ujar gembus sambil ndudut sebatang rokok yang sudah dipersiapkan dan disodorkan kepada Jon Koplo. Bagai kucing ditawari gereh, langsung saja Koplo nyaut rokok itu dan menyulutnya.
Dalam satu-dua kali sedotan memang tak terjadi apa-apa. Namun ketika sang api sudah mencapai penthol korek yang ditanam di tengah-tengah rokok, dan saat Koplo sedang menyedot dalam-dalam, tiba-tiba saja mak nyooosss... rokoknya murub dengan sukses dan membuat Koplo njenggirat kaget.
Karuan saja Gembus dan teman-temannya pada ger-geran. Koplo misuh-misuh nggak karuan. Namun karena jadi bahan tertawaan, ia tak bisa marah.

”Ledeng” Macet

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Itulah pesan yang tertanam di benak Jon Koplo, karyawan sebuah penerbitan di Kota Bengawan ini.
Maka ketika Jumat (18/7) kemarin kantornya yang berada di Jl Adisucipto itu menyediakan fasilitas general checkup gratis, ia pun memanfaatkan sebaik-baiknya.
Malam harinya, 10 jam sebelum periksa, Koplo puasa ngebleng agar hasil pemeriksaannya nanti cespleng. Urine pertama setelah bangun tidur pun ia tampung sebagian di botol bekas minyak angin untuk diperiksa nanti.
”Urine beres. Tinggal cek darah, rekam jantung dan rontgen,” batin Koplo nyicil ayem.
Merasa persiapannya sudah oke, sebelum berangkat Koplo sempat ngetap pipisnya sebanyak mungkin.
Sampai di kantor, ia langsung menghadap mbak-mbak petugas dari sebuah laboratorium kesehatan yang memeriksanya.
”Ini urine saya mbak, urine pertama sehabis subuh tadi,” kata Koplo mantap kepada mbak petugas, sebut saja Lady Cempluk.
”Wah, ini tidak bisa dipakai, Mas. Sekarang pipis lagi saja, terus ditampung di tabung ini,” saran Cempluk sambil memberi sebuah tabung kecil.
”Wadhuh, tiwas pipisku wis tak kuras mangkat mau,” batin Koplo sambil berjalan menuju toilet untuk buang air lagi. ”Muga-muga isih isa metu ah,” harapnya.
Beruntung, pipisnya bisa keluar juga dan ditampung sebagian di tabung yang sudah tertera ukurannya. Namun karena ia merasa urine yang ada di dalam tabung itu kebanyakan, Koplo bermaksud membuang sedikit.
Tapi sial, karena tangannya nyenggol dinding toilet, urinenya malah nyiprat dan tumpah semua. Celakanya, sejak urinenya tumpah itu, Koplo tidak kebelet pipis lagi. Meski sudah dithur-thurke berkali-kali ”ledeng”-nya tak mau manthur juga.
Saking bingungnya, Koplo segera ke kantin, lalu minum air putih sebanyak-banyaknya dan terus berjalan mondar-mandir dengan harapan agar pipisnya segera bisa keluar lagi...

Salah Masuk

Sepulang sekolah, Gendhuk Nicole, siswa SMP di Wonogiri mengajak temannya, Lady Cempluk, untuk ngeplongke kartupos-kartupos jawaban TTS dan kuis-kuis dari berbagai koran dan majalah ke bis surat yang ada di depan Polres dekat sekolah mereka.
”Pluk, aku tak beli es teh dulu ya? Haus nih. Titip kartuposku sebentar, nanti kamu tak beliin sekalian,” kata Nicole sambil menitipkan kartuposnya kepada Lady Cempluk.
”Ini mau dimasukin ke mana sih Nic?” tanya Cempluk.
”Itu lho, ke kotak surat warna oranye di depan Polres itu!” jawab Nicole sambil bergegas menyeberang jalan untuk beli es teh.
Merasa berhutang budi karena sudah dibelikan es teh, Cempluk pun berinisiatif untuk membantu menyemplungkan kartupos temannya itu ke bis surat. Sampai di depan Polres, Cempluk malah bingung karena di situ ada dua kotak surat. Dan ndilalah warnanya oranye semua.
”Yang oranye, tapi yang di depan Polres... Berarti ini!” pikir Cempluk. Dan, mak plung, beberapa kartupos pun masuk dengan sukses di kotak surat warna oranye di dekatnya.
Tak lama, Nicole datang menghampirinya sambil membawa dua plastik es teh.
”Pluk, kartu posku mau endi?” tanya Nicole.
”Jangan kuatir Nic. Sudah tak masukin sini!” jawab Cempluk sambil menepuk kotak warna oranye di dekatnya.
”Haaah? Kene, Pluk?” tanya Nicole kaget.
”Lha, iki rak ya oranye ta, Nic!” jawab Cempluk enteng.
”Iya siiih. Tapi apa kamu nggak baca ini lho ada tulisannya ”Kotak saran dan pengaduan untuk polisi”! Bis surate sing kae Pluk!” terang Gendhuk Nicole.
”Wah, sori Nick. Tak kira sing iki, lha wong rupane padha je,” jawab Cempluk menyesal.
Gendhuk Nicole cuma bisa garuk-garuk kepala sambil membayangkan hadiah yang melayang dan juga reaksi Pak Polisi nanti kalau membaca pengaduan untuk mereka yang berupa jawaban undian.

Dipan Semplok

Punya bodi sekelas Tom Gembus, salah seorang anggota Polsek di wilayah Klaten ini, memang senang-senang susah. Senengnya, selain bentuk badannya jadi impian para lelaki kerempeng juga jadi dambaan kaum perempuan.
Namun siapa sangka badannya yang besar itu ternyata sering merepotkan, bahkan pernah membuatnya kisinan. Lho, kok bisa?
Sudah menjadi tradisi, setiap selesai Salat Id warga kampung Tom Gembus berkeliling dari rumah ke rumah para sesepuh kampung untuk bermaaf-maafan. Tak terkecuali Tom Gembus sekeluarga.
Sebagai permulaan, Tom Gembus beserta isteri dan anaknya sowan ke rumah Mbah Jon Koplo yang letaknya tepat di depan rumah Tom Gembus. Warga tertua di kampung itu tengah terbaring sakit.
Jadi dengan terpaksa Mbah Koplo menerima tamu-tamunya sambil berbaring di tempat tidurnya, sebuah dipan yang umurnya diperkirakan melebihi usia Mbah Koplo yang hampir seabad itu.
Meski masih pagi, rumah Mbah Koplo sudah penuh tamu. Ada yang sedang sungkem, ada juga yang sedang menikmati makanan kecil yang disediakan di ruang tamu. Tibalah giliran Tom Gembus untuk sungkem.
Gembus duduk di bibir dipan dan tangannya bersalaman dengan Mbah Koplo.
”Mbah, ngaturaken sugeng riyadi, sedaya kalepatan kula nyuwun pangapunten... bla-bla-bla...” tapi belum sampai Mbah Jon Koplo membalas ucapan Tom Gembus tiba-tiba mak grobyakkk... dipan Mbah Koplo yang diduduki Tom Gembus semplok dengan suksesnya. Semua tamu menoleh ke tempat kejadian perkara.
”Wadhuh, pripun niki, Mbah?” tanya Tom Gembus dengan muka merah mirip kepiting rebus.
Lucunya, masih dengan posisi bersalaman dengan Tom Gembus di atas dipan semploknya, Mbah Koplo tetap melanjutkan prosesi sungkem Tom Gembus.
”Yoh Le, padha-padha, dosamu lan dosaku dilebur dina riyaya iki... Ambene pancen wis wayahe ganti kok Le...”
Kontan saja para tamu yang semula kaget dan khawatir malah jadi ger-geran. Sementara sambil meminta maaf, Gembus berpamitan dan mengajak anak isterinya pindah ke rumah sebelah.
Hilang sudah selera Tom Gembus untuk menikmati tape ketan kesukaannya.

”Kampus Hijau”

Jon Koplo adalah seorang eksekutif muda yang bisa mengikuti ombyaking jaman. Selain punya handphone tergolong canggih untuk ukuran anak muda seusianya, karyawan sebuah instansi swasta di Solo ini juga punya sebuah laptop yang bisa diajak jalan-jalan dan nge-net di kafe-kafe. Sementara itu ke mana pun ia pergi selalu menaiki motor yang bisa dikatakan model baru meski pembayarannya masih dicicil tiap habis gajian. Tapi walau begitu Koplo adalah debitur yang tertib karena angsurannya tak pernah lowong, apalagi sampai didenda.
Adik kandung Jon Koplo yang bernama Tom Gembus pun merasa beruntung karena bisa meminjam laptop kakaknya untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Selain memperlancar urusan kuliahnya, laptop itu juga memperlancar penampilan Gembus di kampusnya.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih. Bulan lalu adalah bulan yang memprihatinkan bagi Jon Koplo. Imbas kenaikan harga BBM mengakibatkan semua harga barang dan jasa naik, tapi gajinya belum naik juga. Padahal angsuran motornya belum habis.
Penderitaan Koplo pun lengkap sudah dengan mundurnya tanggal gajian di kantornya yang biasanya selalu jatuh tanggal 27, tapi diundur tanggal satu bulan berikutnya. Padahal jatuh tempo pembayaran kredit motornya tanggal 30. Ia bingung ke mana harus mencari uang. Kebutuhan lain mungkin bisa ditunda, tapi angsurannya tidak bisa ditunda lagi.
Pikir punya pikir, Koplo pun menemukan ide. Baginya tak punya cara lain untuk mendapatkan uang kecuali dengan cara menggadaikan barangnya. Ia berpikir tak mungkin menggadaikan motornya, karena motor ibarat kaki yang mengantarkan ke mana ia pergi. Akhirnya dengan berat hati ia gadaikan laptop kesayangannya, dengan niat bulat akan menebus setelah uang gajinya cair.
Setelah mendapat uang segar Koplo pun bisa bernapas lega. Semua urusannya lancar. Namun cara Koplo mengatasi masalah ini ternyata bukannya tanpa masalah. Esok paginya ketika ia baru memulai kerja di kantor, Tom Gembus tiba-tiba mengirim SMS, ”Mas Koplo, tolong pindahkan file-ku dari laptopmu, aku mau ngadhep dosenku nih!” begitu pesannya.
Koplo terkejut membaca pesan Gembus, ia buru-buru menelepon adiknya itu. ”Wah, cilaka Mbus, laptopku lagi sekolah di kampus hijau ki... Arep konsultasi dosen?... Saiki?... Wadhuh, lha kowe ana dhuwit sangang atus ewu ora?...” kata Koplo lemes

Beli Nasi Berkat

Beberapa waktu lalu, Lady Cempluk, janda beranak satu yang tinggal di Solo ini punya hajat mengkhitankan anaknya. Karena tak punya saudara, maka yang kedhapuk jadi seksi wira-wiri adalah Jon Koplo, tetangga dekatnya yang konon juga naksir berat dengan janda muda yang masih sintal ini.
”Plo, tolong anterin nasi berkat ini ke rumah Pak Gembus dan Gendhuk Nicole ya!” pinta Cempluk.
”Siap Mbakyu. Pokoknya untuk Yu Cempluk, saya always ready,” jawabnya seraya membawa dua kardus nasi ayam pergi ke tempat tujuan.
Setelah mengantar berkat di rumah Tom Gembus, Koplo bukannya langsung cabut, tapi malah pakai acara ngobrol segala. Bahkan karena keasyikan nggedebus dengan Tom Gembus sambil ngrasani Lady Cempluk yang bahenol itu, Koplo jadi tidak fokus dengan tugas semula.
Begitu acara ngrumpi-nya rampung, ia pamit pulang. Dan ketika di perjalanan pulang itulah ia baru ingat bahwa ada satu berkat lagi yang harus diantar ke Gendhuk Nicole, yang tertinggal di rumah Tom Gembus. Ia pun langsung balik kanan kembali menemui Tom Gembus.
”Mbus, mau ambil berkatnya Gendhuk Nicole. Tadi ketinggalan di sini,” katanya kepada Gembus yang sedang menikmati nasi berkat pemberian Cempluk tadi.
”Lho, saya kira tadi ngasih jatah saya dua. Yang satu sudah dimakan isteriku, satunya lagi lha ini lagi tak pangan,” jawab Gembus ikut kaget.
”Wadhuh cilaka tenan iki! Aku pasti dimarahi Yu Cempluk kalau sampai tugasku nggak beres,” jawabnya sedih.
”Gini aja solusinya, Plo. Kamu tak kasih uang Rp 10.000, nanti kamu tomboki Rp 5.000 buat beli nasi ayam goreng sekaligus dibungkus kardus, terus diantar ke rumah Gendhuk Nicole. Beres kan?” usul Gembus.
”Wah, tombok no! Jadi kongkonan bukannya dibayar malah nomboki,” keluh Koplo.
”Ya sudah, kalau nggak mau, urusanmu dengan Cempluk kamu tanggung sendiri,” tegas Gembus.
Akhirnya Jon Koplo mau kompromi. Hasil patungan uang dengan Tom Gembus ia belikan ayam goreng kardus, lalu diantar ke rumah Gendhuk Nicole dengan wajah mbesengut.

BBM Tali Tempe

Selain banyak yang bekerja sebagai pengrajin tempe, warga desa Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo juga ada yang membuat tali tempe. Salah satunya adalah Mbok Cempluk.
Tali tempe itu terbuat dari batang pohon pisang yang sudah ditebang, dirajang, dijemur hingga kering dan dijual ke pengrajin tempe seharga Rp 250 per ikatnya.
Begitulah cara orang seperti Mbok Cempluk mengais rezeki di kehidupan yang serba sulit ini.
Pada suatu hari, Tom Gembus, anak Mbok Cempluk yang bekerja di Tangerang pulang. Ia mengajak teman kosnya bernama Jon Koplo yang asli Jakarta. Koplo menginap di rumah Gembus dengan gaya bahasa khasnya yang kadang sulit ditangkap oleh Mbok Cempluk yang memang kesulitan dalam berbahasa Indonesia.
Ketika pukul 05.30 pagi, karena sedang sibuk mencuci, Mbok Cempluk yang sudah mulai akrab dengan Jon Koplo melihat tamunya itu tampak sedang lapar. Ia pun menyuruh Koplo untuk memasak mi instan.
”Nak Koplo, yen sudah lapar masak mi sendiri wae. Di atas meja ada mi instan. Masak dhewe ya, ngapunten belum sempat tuku jangan,” kata Mbok Cempluk.
Meski dengan bahasa yang mbundhet, Koplo sedikit paham. Ia tampak sumringah karena sejak subuh tadi perutnya melilit-lilit. Ia pun segera ambil ancang-ancang untuk masak mi.
Cuma masalahnya, Koplo yang terbiasa masak pakai kompor gas jadi bingung ketika harus berhadapan dengan tungku dan kayu bakar.
”Kayu bakar Cing. Kapan masaknya? Minyak tanah juga udah abis,” Koplo gemremeng dhewe.
Namun Koplo tidak kehilangan akal. Biar api bisa cepat menyala ia mengambil sesuatu di antara tumpukan kayu.
”Nah, ini dia...! Untung ada serabut ini,” batin Koplo senang.
Ia pun segera menyalakan tungkunya.
Tapi ketika Mbok Cempluk masuk ke dapur, betapa terkejutnya Mbok Cempluk melihat Jon Koplo membakar beberapa ikat tali tempe yang sudah selesai dibuatnya selama berhari-hari.
”Adhuh Le...! Kuwi bandhaku kok mbok obong?” teriak Mbok Cempluk sambil memungut ikatan tali yang belum sempat diobong oleh Koplo.
Setelah dijelaskan manfaat ikatan serabut yang dikira Koplo untuk BBM (bahan bakar masak) tersebut adalah tali untuk mbuntel tempe, Koplo pun meminta maaf.

Nomer Kaos

Kisah nyata kali ini dialami oleh seorang guru olahraga sebuah SD di Sragen, sebut saja Lady Cempluk. Orangnya supel tapi rada ceplas-ceplos.
Pada suatu malam, sekitar pukul 20.00 WIB, Lady Cempluk sudah angler di kasurnya gara-gara kecapekan setelah sesorean penuh ikut lomba kasti di kampungnya.
Saat itu secara kebetulan Tom Gembus menelepon Cempluk hendak menanyakan ukuran kaos yang akan dipesan suaminya, Jon Koplo. Tapi ternyata yang mengangkat adalah Gendhuk Nicole, puteri Cempluk satu-satunya.
”Buk... Buk’e... Wonten tilpun saking Pak Tom Gembus,” seru Gendhuk Nicole nggugah Ibunya.
Tanpa ba-bi-bu Cempluk langsung mengambil alih HP-nya.
”Nggih Pak Gembus, wonten keperluan menapa nggih?” tanya Cempluk yang masih hayub-hayuben alias setengah sadar.
”Oh, ini Bu, saya mau tanya, nomer ukuran kaos Bapak niku napa nggih Bu? Napa XL?” tanya Gembus.
”Ooo, mboten Pak. Mboten XL. Wong nomere Bapak niku Simpati kok. Bapak mboten gadhah nomer XL,” jawab Cempluk dengan santainya.
”Walah Bu Cempluk ini kok malah ngejak guyon lho. Ini serius, Bu,” ucap Tom Gembus agak kesal.
”We lha, kula nggih serius, niki Pak!” Cempluk ngotot.
”Lha mosok ukuran kaos kok Simpati,” Gembus semakin kesal.
”Oalah... Ukuran kaos ta Pak? Lha tadi saya kira tanya nomornya Bapak. Nggih Pak, ukuran kaose Bapak XL,” ucap Cempluk malu.
”Lha, mbok dari tadi begitu, Bu Cempluk itu bagaimana,” ucap Gembus menggoda.
”Ngapunten nggih Pak. Ini tadi sudah tidur tapi dibangunkan anak saya, jadi nyawanya belum balik semua,” ucap Cempluk sambil pringas-pringis kisinan.
Setelah menutup telepon, Cempluk bicara dengan anaknya.
”Oalah... Ndhuk... Ndhuk. Ibuk dadi wis ora ngantuk maneh,” katanya sembari mesam-mesem sendiri.

Kolak Kok Anyep?

Sehari setelah melahirkan anaknya di sebuah rumah sakit besar di Kota Bengawan, Lady Cempluk, warga Karanganyar bagian pelosok ini didatangi seorang perawat bernama Gendhuk Nicole sambil menggendong bayinya.
”Bu Cempluk, ini saatnya memberi ASI pertama. Tapi kalau mau menyusui, payudaranya dibersihkan dulu dengan ini ya Bu, biar steril!” pesan Gendhuk Nicole sambil menunjuk sebuah mangkok yang baru saja ia letakan di meja. Namun karena perhatiannya terfokus pada sang bayi, Cempluk tidak begitu memperhatikan pesan itu. Nicole pun pergi.
Setelah puas menimang-nimang, Cempluk meletakkan sang bayi di sampingnya. Karena merasa haus dan lapar, Cempluk baru memperhatikan mangkok yang berisi air dan kapas itu.
”Wah, pagi-pagi sudah disediakan kolak tape,” batin Cempluk, sambil ngranggeh mangkok di meja dan mengambil sebuah sendok.
Perlahan tapi pasti, Lady Cempluk memulai nyruput air yang ada di mangkok.
”Kolak kok aneh gini?! Apa karena buat orang sakit memang dibikin seperti ini ya? Coba ngincipi tapene ah...”
Cempluk menyendok benda putih yang kemampul di dalam mangkok dan dimasukkan ke mulutnya.
”Brrrhhh... Tapenya kok rasanya anyep?” batin Cempluk heran sambil nglepeh benda putih tersebut.
Belum selesai dengan aksi makannya, tiba-tiba mak bedunduk, Gendhuk Nicole datang.
”Bagaimana Bu? Bayinya sudah diberi ASI?” tanya Nicole.
”Belum Sus, saya masih bingung payudara saya mau dibersihkan pakai apa?” tanya Cempluk.
”Ya pakai kapas yang sudah saya sediakan dalam mangkok itu, Bu!” kata Gendhuk Nicole.
”Horok! Bul iki mau kapas dikum banyu ta?” batin Cempluk, kemudian ia berkata, ”Ooo, sss...saya kira yang di mangkok ini tadi kolak tape, jatah sarapan saya,” kata Cempluk yang wajahnya memerah karena malu.
Gendhuk Nicole sebetulnya merasa kasihan juga, tapi ia toh tidak bisa menahan tawanya.

Soft Drink Kok...

Dahulu ketika warung steak masih baru-barunya di Solo, Tom Gembus, warga Pasar Kliwon ini mendapat undangan ulang tahun dari Lady Cempluk, teman sekolahnya, yang dirayakan di sebuah warung steak.
Ndilalah saat itu di rumah Tom Gembus baru kedatangan saudara dari pelosok yang usianya setara dengan Tom Gembus, yaitu Jon Koplo. Karena tidak enak hati meninggalkan saudaranya, maka Jon Koplo diajak serta.
Singkat kata, sampailah mereka di tempat acara. Setelah mengucapkan selamat kepada Lady Cempluk, para tamu undangan pun dipersilakan memesan makanan sesuai yang tertera di daftar menu. ”Mbus, iki panganan apa?” tanya Koplo setelah membaca daftar menu.
”Ssst... jangan keras-keras! Kamu diam saja, biar aku yang pesan,” jawab Tom Gembus. Jon Koplo cuma manggut-manggut saja.
”Plo kamu minumnya apa?” tanya Gembus.
Jon Koplo kembali membaca daftar menu.
”Iki Mbus, soft drink,” kata Koplo sambil menunjuk tulisan di daftar menu.
Tak lama kemudian datanglah pelayan membawa minuman. Sebotol koka-kola pun mendarat tepat di hadapan Jon Koplo. Bukannya berterima kasih, Koplo malah protes pada si pelayan.
”Mas... Mas, saya tadi pesan soft drink kok dikasih koka-kola?” protesnya dengan suara keras karena si pelayan sudah beranjak pergi.
Semua yang ada di situ pun tertawa termasuk pelayannya. Tentu saja kecuali Tom Gembus yang kisinan abis di hadapan teman-temannya.
”Heh, Plo, soft drink kuwi ya bangsane koka-kola, panta, semprit barang kuwi. Wis menengo wae!”
Semua yang ada di situ pun tambah ngekek ora entek-entek...


morat

Diposting oleh Rendra & Urakom

Nanik Muth dkk Akbid Sutomo Surabaya Th 2004

Diposting oleh Rendra & Urakom

Anak-Anak Akbid Sutomo Surabaya 17-an

Diposting oleh Rendra & Urakom

Meilyza dan Domas Akbid Sutomo Surabaya Th 2004

Diposting oleh Rendra & Urakom
RENDRA and URAKOM 2010 Blog Morat-Marit, Karanganyar. Solo Jawa Tengah © 2010 Programer By Rendra Dewa Dewita 2008, Blog. All rights reserved. blogger templates